Wang Lung dan Tanah


Sebidang tanah akan membuatmu kaya raya, bahkan jadi tuan Tanah, bila tanah itu ditanami, dirawat, dijaga, dan kerja keras adalah kuncinya. Di samping kerja keras, perlu memanjatkan doa, berserah pada yang dewa-dewi.

Dari atas pesawat saya menyelesaikan buku Good Earth, Pekanbaru-Jakarta, Juni 2023. @Madeali

Buku The Good Earth Karya Pearl S Buck menyajikan cerita berkelok yang tak selalu lurus dalam kehidupan, dari miskin lalu menjadi kaya. Ada pertentangan moral.

Wang Lung, membuktikan satu hal; menggarap tanah membuatnya kaya raya di masa tuanya.

Wang Lung, petani, yang hidup di sebuah desa miskin di Utara, hidup bersama ayahnya yang renta, bahkan ia mengurusnya tiap hari. Sebidang tanah yang ayahnya wariskan, Wang Lung kelola dengan baik untuk mempertahankan hidup dari kelaparan di musim dingin. Kemiskinan menyelimuti desa tempat Wang Lung tinggal bersama penduduk lainnya saat musim dingin.

Perjalanan hidup Wang Lung berubah saat dia menikahi budak bernama Olan. Punya keturunan, pergi ke selatan karena tak ada lagi yang bisa di makan saat musim dingin. Di selatan, di kota, ia bersama ratusan pengungsi dari Utara menggelandang menjadi pengemis bersama ketiga anaknya, istri dan ayahnya yang renta. Mereka mengemis, Wang Lung sendiri bekerja menarik ricsaw. Pengalaman di Kota memberi pengetahuan baru bagi Wang Lung. Namun, dia tetap ingat pada tanahnya, rumahnya di Utara.

Sebuah peristiwa pertempuran, dan penjarahan yang dilakukan Wang Lung bersama istri dan gelandangan di sebuah rumah kaya bak istana, mengubah hidup Wang Lung selamanya.

Dia, istri, ketiga anaknya dan ayahnya kembali ke Utara, ke rumahnya, ke tanahnya. Dengan pengalaman dan “modal” yang dia dapat dari selatan, dia berjuang menggarap tanahnya, hingga mampu membeli tanah milik orang kaya dan tanah tanah warga yang miskin di desanya.

Dia menjadi tuan Tanah. Menjadi kaya. Lalu, membeli sebuah rumah besar milik keluarga Hwang.

Cerita suka duka selama di rumah besar tinggal bersama ketiga anaknya, selirnya, pamannya. Hingga dia punya 16 cucu. Namun, sebelum pindah di rumah besar, istri tercintanya Olan meninggal di rumah di desanya. Sejak saat itu, hidup Wang Lung dengan harta melimpah hidup penuh ketidakbahagiaan bersama anak anak dan menantunya.

Wang Lung di usia 70 tahun, hendak meninggal di rumah kayunya. Di kubur di samping istrinya, ayah mertuanya dan kawan setianya Ching.

Saat kedua anaknya hadir melihat-lihat tanahnya. Tak sengaja Wang Lung mendengar percakapan kedua anaknya. Dan membuat dia bersedih, hingga berteriak.

Wang Lung sempat berpesan pada anaknya.

“Sebuah keluarga akan habis riwayatnya–kalau mereka sudah mulai menjual tanah-tanahnya,” ujar Wang Lung. “Kita berasal dari tanah dan kita mesti kembali lagi ke situ–dan kalau kalian masih mau mempertahankan tanah itu, kalian bisa hidup terus–tak ada orang bisa merampas tanah begitu saja. Kalau kalian menjual tanah-tanah itu, tamat sudah riwayat kita.”

Wang Lung, yang terbit pada 1932 atau 81 tahun lalu, masih relevan menggambarkan kehidupan yang kita jalani; hidup tak selalu lurus, dia berkelok. Antara moral dan tak bermoral menyatu dalam keluarga besar. Ada protes. Ada permakluman. Namun, tanpa tanah, hidup tak berguna di kehidupan kapanpun.

–Made Ali

Penulis: Madeali

Aku hendak berbagi cerita “Aku, Buku, dan Secuil Perlawanan” sambil seruput kopi hangat, sedapnye roti canai, tentu dengan anda, kenalan atau sahabat saya. Ceritanya bisa pendek. Bisa panjang. Sahabat. menulislah, seolah-olah esok pagi kau mati! Whizzzzzzzzz, saatnya ngupi!

Tinggalkan komentar