Sawit Jadi Tanaman Hutan, Jalan Cepat Menghentikan Kriminalitas Ganda


Bagaimana kriminalitas ganda yang sedang terjadi segera berhenti, bila tanaman sawit menjadi tanaman hutan?

Oleh Made Ali[1]

PADA 14 APRIL 2018, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menaja Focus Group Discussion (FGD) “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika” di Bogor.

abk

“Kebun sawit memberi pemasukan dan nilai ekonomi yang tinggi dan berarti bagi masyarakat selain sangat efisiensi dari segi hasil untuk lahan yang terbatas. Saat ini ada kekhawatiran menstigmatisasi seluruh tanaman padahal bukan tanamannya yang menjadi masalah, tetapi di mana kita menananmnya,” kata Dr Ir Rinekso Soekmadi, Dekan Fakultas Kehutanan IPB.

“Perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan minyak kelapa sawit mentah masih menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Hingga 2017, Indonesia masih tercatat sebagai eksportir terbesar dunia. Berdasarkan Data GAPKI, perkebunan kelapa sawit bukan penyebab deforestasi hutan tropika, penurunan keanekaragaman hayati dan penyebab kebarakan. Sebaliknya, kelapa sawit adalah promotor dari pelindung bentang alam yang bernilai konservasi hutan tinggi, senantiasa memberikan manfaat bagi kehidupan,” kata Dr Ir Wistra Danny Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian RI.

“Sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia, deforestasi itu merupakan alih fungsi atau perubahan fungsi dari kawasan hutan menjadi peruntukan kawasan hutan. Dari hasil survei ke lapangan tersebut, saya berani memastikan bahwa sawit bukan penyebab deforestasi di Indonesia. Lahan sawit yang ada di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan,” kata Prof Dr Yanto Santoso Dosen Fakultas Kehutanan IPB juga Pembina Pusat Kajian Advokasi dan Konservasi Alam.

Hadir sebagai Narasumber: Prof Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat (Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Sistem Informasi), Prof Dr Yanto Santoso (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB), Prof Dr Supiandi Sabiham (dosen Departemen Manajemen Hutan IPB), Dr Ir Sudarsono Soedomo (Dosen Sumberdaya hutan dan ekowisata IPB), Dr Ir Arzyana Sunkar (Forda), Rozza Tri Kwatrina (RSPO HCV Assesor).

Hasil diskusi disepakati: perlu segera disusun naskah akademik sebagai dasar pertimbangan usulan tanaman sawit menjadi salah satu tanaman kehutanan. Sehingga dimungkinkan sawit ditanam pada kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Tanaman sawit dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah tindak pidana.

Pidana UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan mulai berlaku sejak 30 September 1999. Ketentuan Pidana termaktub dalam Bab XIV dalam Pasal 78. Khusus tanaman sawit dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri LHK biasanya dikenakan Pasal 50 huruf (a) berbunyi setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan kawasan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, dipidana penjara paling lama 10 tahun, denda paling banyak Rp 5 Milyar.

Dan, bila buah sawitnya dijual kepada perusahaan atau penampung sawit, juga bisa dipidana merujuk Pasal 50 huruf f berbunyi setiap orang dilarang menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah, dipidana penjara 10 tahun, denda paling banyak Rp 5 Milyar.

Lalu, sejak 6 Agustus 2013 terbitnya UU 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tindak pidana kehutanan berlaku dalam UU ini. Ketentuan Pidana diatur dalam BAB X pasal 82-109. Khusus tanaman sawit dalam kawasan hutan diatur dalam pasal 92-93. Orang perseorangan atau korporasi sengaja atau lalai melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan atau membeli sawit dari kawasan hutan dipidana.

UU 18 TAHUN 2013 ini juga bisa dikenakan money laundering bila setiap orang dan korporasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang patut diduga berasal dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 95).

Di Riau, fakta menunjukkan kawasan hutan yang ditanami kelapa sawit oleh perorangan maupun korporasi berada di fungsi konservasi, lindung dan produksi. Modusnya: mereka mengklaim lahan yang berhutan, membakar hutan, menanam sawit, lalu memanennya dan menjualnya ke pabrik kelapa sawit yang terafiliasi dengan korporasi besar.

Apa dampaknya, bila tanaman sawit jadi tanaman hutan atau tanaman sawit boleh di dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan?

Dari sisi hukum, dampaknya kriminalitas atau kejahatan ganda yang sedang terjadi segera berhenti, sebab sawit dalam kawasan hutan bukan lagi tindak pidana atau kejahatan.

Sebelum menjawab dari sisi asas kriminalitas ganda, mari tengok peristiwa sebelum dan sesudah FGD di atas terjadi.

PADA 28 APRIL 2017, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengajukan gugatan permohonan keberatan uji materil ke Mahkamah Agung terhadap Pasal 5 dan Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup karena bertentangan dengan UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 12 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

GAPKI melawan Menteri KLHK, karena Permen LHK tersebut bagi anggota GAPKI mengkhawatirkan lantaran dapat digugat secara perdata dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan tuntutan membayar ganti rugi atas kejadian kebakaran kebun kelapa sawit yang tidak dilakukan oleh anggota GAPKI. Menurut GAPKI Penegakan hukum pidana dan perdata lingkungan hidup jika dibiarkan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit nasional.

Besaran gugatan kerugian lingkungan hidup yang dituntut oleh KLHK yang dasar perhitungannya mengacu pada Pasal 5 dan Lampiran II Permen LHK No 7 Tahun 2014 yang sangat besar tuntutan ganti ruginya dan melebihi nilai aset dari perusahaan anggota GAPKI.

GAPKI memakai Tim Pakar IPB sebagai ahli terdiri atas Prof Dr Yanto Santosa, Dr Ir Basuki Sumawinata, Dr Ir Gunawan Djajakirana, Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, Dr Ir Bahruni dan Dr Ir Lailan Syaufina.

Tim yang diketuai Prof Dr Yanto Santosa tersebut menyatakan Pasal 5 dan Lampiran II PermenLH No 7 Tahun 2014 tidak dapat dilaksanakan karena tidak ilmiah dan sulit diterima akal sehat. Dari segi ilmiah “bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam”. Berbagai penelitian ekologi menunjukkan karakteristik fisik, kimia, biotik maupun sosial ekonomi dan budaya suatu lahan/ruang berbeda satu dengan lainnya. Bahkan keragaman atau variasi tersebut tidak hanya bersifat interlokasi tapi juga intralokasi. Dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa kebakaran hutan atau lahan akan berbeda-beda, yang dikenal dengan sunnatullah atau hukum alam. Adanya anggapan bahwa kerusakan yang terjadi pada suatu areal terbakar tertentu adalah homogen/merata sehingga luasan areal terbakar kemudian dijadikan faktor pengali dalam perhitungan kerugian lingkungan hidup merupakan “suatu kesalahan fatal”.

Menurut Prof Dr Yanto Santosa metoda penghitungan pasal 5 dan lampiran II kurang tepat dan bersifat “double counting”, akibatnya dipastikan nilai gugatan ganti rugi ekologis, ekonomis dan berikut biaya pemulihannya akan sangat besar dan bahkan bisa melebihi nilai aset yang dimiliki oleh para tergugat. Jika terjadi kebakaran di kebun sawit, kerugian untuk keanekaragaman genetik tidak bisa diperhitungkan.

Pada 10 Agustus 2017 Ketua Majelis Hakim Dr Supandi SH MHum dan anggota majelis hakim Is Sudaryono SH MH dan Dr HM Hary Djatmiko SH MS menolak permohonan keberatan uji materil GAPKI. Pertimbangan hakim menolak karena, pertama, metoda penghitungan kerugian dalam pasal 5 Lampiran II Permen LHK No 7 tahun 2014 tidak akan mengakibatkan “double counting”, karena nilai kerugian lingkungan hidup (ekosistem) merupakan nilai yang harus dibayar oleh pencemar dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana asas pencemar membayar (polluter pays principles) yang telah dinormatifkan dalam pasal 2 huruf j dan pasal 8 ayat (1) UU 32 Tahun 2009.

Kedua, penarapan pasal 5 dan Lampiran II PermenLHK No 7 Tahun 2014 telah sesuai dengan Keputusan KMA No 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang menegaskan tindakan tertentu yang antara lain berupa tindakan pemulihan fungsi lingkungan hidup dapat diganti dengan pembayaran ganti kerugian untuk biaya pengganti pemulihan fungsi lingkungan hidup. Ketiga, penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup merupakan pengaturan yang bersifat tekhnis, sehingga tepat apabila diatur dalam peraturan tersebut, sedangkan bila diatur dalam UU, tidak sesuai dengan materi muatan Undang-undang yang bersifat umum.

Hakim menilai PermenLHK No 7 tahun 2014 tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 12 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain menjadi ahli menguntungkan GAPKI, Prof Dr Yanto Santosa, Dr Ir Basuki Sumawinata, Dr Ir Gunawan Djajakirana, juga menjadi ahli menguntungkan korporasi sawit yang dipidana maupun digugat perdata oleh pemerintah karena kebakaran lahan tahun 2015 di Riau.

Hasil pantauan sidang Senarai (www.senarai.or.id) menunjukkan:

ys

Prof Yanto Santoso menjadi ahli perkara perdata PT Jatim Jaya Perkasa vs KLHK[2], Frans Katihokang GM PT Langgam Inti Hibrindo[3], perdata KLHK VS PT National Sago Prima[4].

bsw

Dr Ir Basuki Sumawinata ahli untuk terdakwa Frans Katihokang General Manajer PT Langgam Inti Hibrindo[5] dan terdakwa tiga petinggi PT Palm Lestari Makmur[6] dan perdata KLHK VS PT National Sago Prima[7].

gck

Dr Ir Gunawan Djajakirana ahli terdakwa Frans Katihokang GM PT Langgam Inti Hibrindo[8], terdakwa PT Adei Plantation and Industri diwakili Tan Kei Yoong[9], terdakwa Danesuvaran KR Singam[10].

nyoto s.jpg

Nyoto Santoso: perkara perdata PT Jatim Jaya Perkasa[11], dan terdakwa Kosman manajer kebun PT Jatim Jaya Perkasa[12]. Omo Rosdiana menjadi ahli terdakwa Kosman manajer kebun PT Jatim Jaya Perkasa[13].

omo

Pada 10 Juli 2017, PT Jatim Jaya Perkasa divonis majelis hakim dengan pidana denda sebesar Rp 1 Milyar dengan ketentuan jika denda tak dibayar dalam satu bulan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap aset PT JJP akan disita dan dilelang untuk pemenuhan biaya denda[14], karena minimnya sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla  hingga akibatkan 120 hektar lahan terbakar.

wawan

Minimnya sarana prasarana serta lambatnya pelaporan dari pihak manajerial—dalam hal ini Kosman Vitoni Immanuel Siboro, Asissten Kebun 2 PT JJP yang sudah menjadi terpidana dalam kasus yang sama—yang bertanggungjawab melakukan pengawasan dan penindakan akibatkan api tak dapat segera ditanggulangi. Seluas 120 ha di areal kerja Blok S dan T terbakar pada 17 Juni 2013 di dalam areal PT JJP.

PT JJP terbukti melanggar pasal 99 ayat (1) Jo pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,  karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien dan atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pada 8 Desember 2015 Pengadilan Tinggi Pekanbaru[15] menghukum Kosman Vitoni Immanuel Siboro, asisten kebun II PT JJP pidana penjara 4 tahun, denda Rp 3 Milyar karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu ambien, baku mutu air atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup “. PN Rokan Hilir pada 12 Agustus 2015 menghukum Kosman pidana penjara 2 tahun, denda Rp 1 Milyar[16].

KLHK juga memperdatakan PT JJP. Pada Maret 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dilakukan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP). KLHK menggugat PT JJP membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 119 miliar dan Rp 371 miliar untuk biaya pemulihan lingkungan untuk lahan yang terbakar seluas 1000 ha pada .

Sidang perdana berlangsung pada 1 Juli 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam persidangan kuasa hukum KLHK menyatakan menggugat PT JJP karena telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup akibat pembakaran hutan dan lahan seluas 1000 ha di lokasi perkebunannya di Simpang Damar Desa Sei Majo, Kecamatan Kubu Babussalam, Kabupaten Rokan Hilir.

Sidang berlangsung selama 11 bulan hingga pembacaan putusan pada 15 Juni 2016. Majelis hakim memutuskan bahwa PT JJP terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum dan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. PT JJP dihukum untuk membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada penggugat melalui kas negara sebesar Rp 7.196.188.405,- dan melakukan perbaikan lingkungan hidup untuk lahan yang terbakar seluas 120 ha dengan biaya sebesar Rp 33.277.130.853,- .

Atas putusan majelis hakim di PN Jakarta Utara, penggugat mengajukan banding dan pada November 2016 majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan bahwa PT JJP harus membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 119 miliar dan tidak boleh menanam kebali di lahan gambut bekas terbakar serta melakukan pemulihan lingkungan hidup dengan biaya Rp 371 miliar, sesuai dengan gugatan KLHK.

Frans Katihokang, Manajer Operasional PT Langgam Inti Hibrindo divonis Mahkamah Agung pada November 2017, penjara 1 tahun, denda Rp 1 Milyar terbukti melanggar pasal 99 ayat (1) Jo pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,  karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien dan atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, mengakibatkan pada 27 Juli 2015 terjadi kebakaran di areal kebun Gondai sekitar pukul 16.00. Kebakaran ini dari blok 5 meluas sampai blok 20. Api baru dapat dipadamkan pada 31 Juli 2015. Total luas lahan di areal Gondai 1.026,85 hektar: sebanyak 533 hektar terbakar, 201 hektar diantaranya sudah ditanami sawit. Usia sawit sekitar 1 tahun. Pada 9 Juni 2016 Frans Katihokang divonis bebas oleh majelis hakim PT Pelalawan[17].

Pada 29 Juni 2016 majelis hakim PN Rengat, Indragiri Hulu memvonis pidana penjara Direktur PT Palm Lestari Makmur (PT PLM) Iing Joni Priyana dan Manager Plantation Edmond Jhon Pereira 3 tahun, denda Rp 2 Milyar, karena kelalainnya mengakibatkan kebakaran di blok D7 seluas 39 hektar pada 31 Agustus 2015. Untuk terdakwa Niscal Mahendrakumar Chotai manajer keuangan PT PLM divonis bebas oleh majelis hakim yang sama[18].

Pada 13 Januari 2015 Pengadilan Tinggi Pekanbaru[19] menguatkan putusan PN Pelalawan, PT Adei Plantation and Industry denda Rp 1,5 Milyar, subsider 5 bulan kurungan diwakili Tak Kei Yoong (Direktur Utama PT Adei Plantation and Industry), pidana tambahan berupa memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran seluas 40 hektar dengan biaya Rp 15 milyar. Danesuvaran (General Manajer PT Adei) divonis penjara 1 tahun, denda Rp 2 Milyar.

Pada 9 September 2014 PN Pelalawan menyatakan PT Adei Plantation and Industry bersalah karena kelalaiannya akibatkan kerusakan lingkungan hidup seluas 40 hektar terbakar pada 16 Juni 2013. Danesuvaran juga dihukum bersalah[20].

Pada 2013, Kementerian Lingkungan Hidup—kini KLHK—menetapkan 10 korporasi tersangka karhutla sepanjang 2012 – 2014 yaitu: PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Ruas Utama Jaya, PT Sekato Pratama Makmur, PT Sumatera Riang Lestari, PT Suntara Gaja Pati, (HTI) PT Triomas FDI, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Langgam Inti Hibrindo dan PT Teguh Karsawana Lestari (sawit).

Pada 2014 pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut dan Pemerintah Provinsi Riau melakukan Audit Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Riau.

Tujuannya mengetahui tingkat kesiapan perusahaan dan kabupaten/ kota dalam melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Selain itu audit ini juga dapat mengidentiikasi kebijakan yang seharusnya dilakukan serta upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla yang dapat segera dilakukan.

Untuk Provinsi Riau, audit dilakukan dalam 4 tahap di 17 korporasi yang memiliki konsesi dan 6 pemerintah kabupaten/ kota di Provinsi Riau. Untuk korporasi HTI, audit dilakukan di PT Sekato Pratama Makmur, PT Rimba Rokan Lestari, PT Satria Perkasa Agung, PT Sumatera Riang Lestari—Bengkalis—, PT Diamond Raya Timber, PT Ruas Utama Jaya, PT Sumatera Riang Lestari—Rokan Hilir—, PT Arara Abadi Distrik Berbari dan Distrik Pusako, PT Sumatera Sylva Lestari—Siak—, PT Suntara Gajapati—Dumai—PT Sumatera Riang Lestari serta PT Nasional Sagu Prima—HTI Sagu Kepulauan Meranti.

Untuk korporasi sawit, audit dilakukan di PT Jatim Jaya Perkasa di Rokan Hilir, PT Makarya Eka Guna dan PT Triomas FDI di Siak serta PT Setia Agro Mandiri dan PT Bhumireksa Nusa Sejati di Indragiri Hilir. Untuk pemerintah kabupaten/ kota yang di audit adalah Kabupaten Siak, Rokan Hilir, Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti, Dumai dan Bengkalis.

Hasilnya, dari 5 perusahaan perkebunan yang diaudit, 1 perusahaan tergolong sangat tidak patuh dan 4 perusahaan tergolong tidak patuh. Untuk perusahaan kehutanan, dari 12 konsesi yang diaudit, 1 konsesi tergolong sangat tidak patuh, 10 konsesi tergolong tidak patuh dan 1 konsesi tergolong kurang patuh. Untuk pemerintah kabupaten/ kota, dari 6 kabupaten/ kota ada 1 kabupaten yang patuh, 1 kabupaten cukup patuh dan sisanya kurang patuh.

Secara umum temuan dari audit untuk korporasi adalah seluruh korporasi menjalankan kegiatan di atas gambut dalam yang rawan kebakaran serta ketidakmampuan perusahaan dalam menjaga konsesinya terkait erat dengan karhutla. Ketidakmampuan perusahaan ini mengakibatkan konflik terjadi di areal korporasi antara masyarakat yang berada di dalam maupun berbatasan dengan areal konsesi.

Selain itu tim audit juga menemukan adanya pelaporan dari perusahaan yang tidak dilakukan secara komprehensif sehingga deteksi dini tidak dapat dilakukan secara optimal dan perusahaan belum memenuhi kewajiban minimum dalam rangka pencegahan karhutla.

PT Jatim Jaya Perkasa merupakan anak perusahaan Wilmar Grup, PT Palm Lestari Makmur (Aavanti off shore PTE Singapur), PT Langgam Inti Hibrindo (Provident Agro), PT Adei Plantation and Industry (KLK Grup Malaysia), PT Makarya Eka Guna, PT Triomas FDI (Panca Eka grup), PT Setia Agro Mandiri dan PT Bhumireksa Nusa Sejati (Minamas, Simedarby Malaysia).

SETELAH GAPKI KALAH menggugat PermenLHK No 7 Tahun 2014 dan korporasi sawit kalah di pengadilan (meski masih ada upaya hukum selanjutnya), para korporasi masih terus bergerilya melalui jalan legal lainnya, yaitu “berpartisipasi memberi masukan” dalam Revisi RUU Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang saat ini sedang diuji publik—pada September 2017 Setjen dan BK DPR RI sudah merampungkan Naskah akademik dan RUUnya. Korporasi dan Prof Yanto Santoso dan kawan-kawan masih menjadi motor penggeraknya.

Peristiwa lain terkait tanaman sawit, “anehnya”—seolah ada kolaborasi khusus pengusaha sawit dan pemerintah– kini datang dari pemerintah.

Pada 23 April 2018, Fadel Muhammad Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan aliran dana Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terbukti menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri. Khususnya LSM yang mendapatkan aliran dana dari Uni Eropa. Menurut Fadel, para LSM itu harus ditindak tegas atas sikapnya menjelek-jelekkan industri minyak kelapa sawit Indonesia di Eropa. Apalagi sejumlah LSM asal Indonesia itu menyebutkan perkebunan kelapa sawit di dalam negeri merusak lingkungan.

Resolusi Uni Eropa itu sangat merugikan 50 juta rakyat Indonesia yang bergantung kepada kelapa sawit, termasuk para petani dan buruh. Menurutnya, Resolusi Parlemen Uni Eropa itu diskriminatif, akibat kampanye negatif LSM terhadap sawit Indonesia. Apalagi dana yang digelontorkan untuk LSM itu sangat besar.

Fadel Muhammad bersama Ketua BKSAP DPR RI Nurhayati Ali Assegaf (Demokrat), dan sejumlah Anggota BKSAP DPR RI diantaranya Ariyanto Munawar (PKB), Syaiful Rasyid (Gerindra), Abdul Latif Hanafiah (PKB), dan Soehartono (NasDem) segera melaporkan perihal LSM tersebut ke PPATK dan Presiden Joko Widodo[21].

Pada 25 April 2018, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan, menyampaikan surat dari Presiden Jokowi kepada Paus. Jokowi berpesan agar Paus membantu melihat Indonesia lebih dalam dari aspek industri kelapa sawit, perdagangan, lingkungan, dan hak asasi manusia (HAM). Kunjungan LBP bagian dari upaya melobi Uni Eropa mengenai minyak sawit, lantaran rencana pelarangan penggunaan biodiesel berbahan dasar minyak sawit mentah di Eropa[22].

Fadel Muhammad dan LBP melakukan protes pada parlemen Uni Eropa karena total 492 politisi Uni Eropa pada 17 Januari 2018 mendukung “Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources” dalam pemungutan suara di Prancis. Sisanya, 88 menolak dan 107 abstain.

Inti laporan, dalam ketentuan bahan bakar energi terbarukan ada pembatasan bahan bakar dari makanan dan tanaman yang diduga penyumbang deforestasi, yakni sawit. Ia sejalan dengan komitmen Eropa pakai energi terbarukan setidaknya 35% dari keseluruhan energi Eropa pada 2030. Keputusan ini masih belum memiliki konsekuensi hukum. Dokumen itu akan diajukan terlebih dahulu kepada pemerintah masing-masing negara dan Komisi Uni Eropa[23].

PADA 2016 KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) menerbitkan Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Kajian setebal 65 halaman itu mendedah, tiga hal diantaranya menemukan HGU perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan IUPHHK-HT seluas 534 ribu hektar, terluas di Kalimantan Timur dan Utara seluas 240 ribu hektar. Luasan HGU yang tumpang tindih dengan IUPHHK-HA seluas 394 ribu hektar dan terluas di Kalimantan Timur dan Utara seluas 99 ribu hektar. Luasan HGU perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan lahan kubah gambut mencapai 801 ribu hektar, terluas di Riau yaitu 245 ribu hektar.

Sisi lain rendahnya penerimaan pajak sektor kelapa sawit karena tidak optimalnya pemungutan potensi pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak. Banyak perusahaan tidak melaporkan pajaknya sesuai dengan kondisi di lapangan. Salah satu contohnya banyak perusahaan yang beroperasi melebihi izin. Contoh ada sekitar 242 hektar lahan yang sudah ditanami kelapa sawit yang berada di luar HGU perusahaan. Tentu, lahan itu tidak masuk dalam laporan pajak perusahaan. Luas 242 hektar itu berakibat pada kehilangan potensi pajak sebesar Rp 9,1 Milyar.

KPK juga menemukan struktur penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit terbesar perusahaan swasta (PMDN dan PMA) dengan luas penguasaan mencapai 10,7 juta hektar. Dari total luasan lahan perkebunan yang dikuasai oleh perusahaan swasta tersebut sekitar 4,7 juta hektar (43,9%) dikuasai oleh 53 grup perusahaan.

Terdapat 19 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan perkebunan kelapa sawit diatas 100 ribu hektar. Dan, terbesar adalah Salim Ivomas Pratama, Sime Darby (Minamas) dan Astra Agro Lestari, yang total ketiga grup ini menguasai lahan seluas 946 ribu hektar. Kebanyakan perusahaan tersebut berstatus PMA. Beberapa perusahaan dari Malaysia juga sangat dominan menguasai lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia seperti Sime Darby (Minamas), Kuala Lumpur Kepong, Genting Group dan IOI Grup.

Kajian KPK sejalan dengan temuan Transformasi Untuk Keadilan (TuK) Indonesia untuk penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit. TuK menemukan 25 dari 29 grup perusahaan sawit (4 diantaranya BUMN) dikendalikan oleh 29 taipan, yang setidaknya mengantongi 5,1 juta hektar lahan sawit.

Taipan-taipan itu: Bakrie Grup (Abu Rizal Bakri), Darmex Agro Grup (Surya Darmadi), Harita Grup (Lim Haryanyo Wijaya Sarwono), Jardine Mathheson (Henry Keswick, skotlandia), Musim Mas (Bachtiar Karim), Provident Agro (Edwin Soeryajaya dan Sandiaga Uno), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Sinarmas (Eka Tjipta Widjaya), Surya Dumai Grup/First Resources (Martias dan Ciliandra Fangiano), Wilmar Grup (Rebert Kuok, Khoon Hong Kuok dan Martua Sitorus), Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo Grup (George Santosa Tahija), Batu Kawan (Lee Oi Hian dan Lee Hau Hian, Malaysia), BW Plantation (Budiono Widodo), DSN Grup (Theodore Rachmat, Benny Subianto), Gozko Grup (Tjandra Mindharta Gozali), IOI grup (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana grup (Henry Maknawi), Sampoerna (Putera Sampoerna), Tanjung Lingga Grup (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi Sutanto, Stefanus Joko Mogoginta dan Budhi Istanto), Triputra Grup (Thedore Rachmat dan Benny Subianto).

Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada para taipan: HSBC, OCBC, CIMB, Mitsubishi UFJ Financial Grup, DBS, Sumitomo Grup, Bank Mandiri, United Overseas Bank, Mizuho Financial Grup, Commonwealth Bank Of Australia, Rabobank, BNI, BRI dan Citi Bank. Bank-bank itu berasal dari Indonesia, Amerika, Singapura, Malaysia, Jepang, Australia, Belanda dan Perancis.

TuK mencatat, investasi tak berkelanjutan negara-negara lain membahayakan keberlanjutan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kondisi keuangan dunia masih terus mendukung situasi ketidakberlanjutan, melalui pembiayaan sektor-sektor yang membahayakan dan merisikokan hutan, lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini perlu dan harus segera diubah. Uang bisa diibaratkan seperti peluru, dia punya daya rusak, daya bunuh, bila disalurkan membiayai kegiatan yang tidak berpihak pada keadilan.

ASAS KRIMINALITAS GANDA (double criminality) dianut oleh UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama bahwa kejahatan ini “bukanlah merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda (double crimes). Antara kejahatan utama dan kejahatan pencucian uangnya merupakan kejahatan yang berdiri sendiri-sendiri[24].

Pencucian uang merupakan delik dengan double jeopardize. Artinya, seseorang baru bisa dijerat money laundering jika terbukti melakukan dua delik kejahatan, yaitu delik pokok (predicate crime) dan delik kedua yaitu kejahatan lanjutan berupa pencucian uangnya[25].

Tindak pidana pencucian uang dimaknai sebagai the proceed of crime offence atau tindak pidana hasil kejahatan. Pengertian ini mengandung makna bahwa dalam sebuah tindak pidana pencucian uang selalu ada dua unsur penting, yaitu kejahatan utama (predicate offence) dan kejahatan lanjutan (follow up crime)[26].

Predicate Offence merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah tindak pidana pencucian uang. Sebab, dari hasil kejahatan utama inilah akan dihasilkan uang, yang kemudian atas uang tersebut dilakukan aktifitas lanjutan.

Di titik inilah proses pencucian uang terjadi. Itu sebabnya, tindak pidana pencucian uang diposisikan sebagai kejahatan lanjutan. Ini sesuai dengan skema pencucian uang, yaitu terdapat core crimes sebagai kejahatan di hulu dan money laundering sebagai kejahatan di hilir, yang masing-masing kejahatan itu berdiri sendiri meski berkelanjutan.

Intinya, pelaku kejahatan berupaya melegalkan uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak kejahatannya. Agar asal-usul uang yang “dicuci” tidak dapat diketahui atau dilacak oleh penegak hukum, para pelaku (seseorang/badan hukum) umumnya memakai tiga tahap atau modus pencucian uang.

Pertama, penempatan uang (placement). Upaya menempatkan dana tunai yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana dalam bentuk yang lebih mudah untuk dipindahkan dan tidak dicurigai untuk selanjutnya diproses ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan, sehingga jejak seputar asal-usul dana tersebut dapat dihilangkan.

Pada tahap placement, pelaku tindak pidana pencucian uang memasukkan dana ilegalnya ke rekening perusahaan fiktif atau mengubah dana menjadi monetary instrument seperti travelers cheques, money order dan negotiable instruments lainnya kemudian menagih uang itu serta mendepositokan ke dalam rekening-rekening perbankan tanpa diketahui.

Kedua, pelapisan (layering).Metode kerap digunakan dengan mengirimkan dana ke Negara yang menjadi “surga” bagi dunia perbankan seperti Cayman Islands, Panama, Bahama, Netherlands Antilles.

Pada saat dana keluar dari Negara tempat tindak pidana, didukung kuatnya tingkat kerahasiaan bank, asal dari dana sulit dilacak. Untuk menambah kompleksitas, dana sebelumnya dialihkan kepada perusahaan fiktif atau dengan dalih utang atau pinjaman.

Adanya jumlah uang yang berbeda-beda dengan frekuensi transfer dana yang tinggi kian mempersulit proses pelacakan. Perpindahan dana tersebut tidak dilakukan sekali, melainkan berkali kali guna mengacaukan alur transaksi, sehingga tidak dapat dikejar alurnya. Setidaknya, dalam proses layering, ada dua atau jurisdiksi negara yang dilibatkan.

Ketiga, penyatuan (integration). Mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman. Missal uang hasil korupsi berupa yang telah di-placement atau di-layering diinvestasikan ke dalam bisnis kelala sawit atau property, atau langsung diinvestasikan ke dalam bisnis resmi seperti jasa pengangkutan, bisnis jasa perkreditan seperti BPR, bisnis resort atau hotel.

Praktek pencucian uang dilakukan dengan cara bermacam-macam, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang sulit dilacak atau diungkap. Cara-cara atau modus yang kerap digunakan antara lain dengan mentransferkan, membelanjakan, mengirimkan, menghibahkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang berasal dari kejahatan dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan itu, seolah-olah tampak seperti berasal dari kegiatan yang sah dan aman untuk dinikmati ata digunakan.

Dalam tindak pidana pencucian uang terbagi dua tipe pelaku: aktif dan pasif.

Pelaku aktif melakukan perbuatan secara aktif mengalirkan hasil kejahatan. Pelaku aktif terbagi dua kriteria, pertama disebut principle violater (pelaku utama) yaitu melakukan kejahatan asal lalu mengalirkan uang atau harta kekayaan hasil kejahatannya baik dengan cara mentransfer, membelanjakan dan perbuatan apapun. Kedua, aider yaitu perbuatan aktif seperti mentransfer, membelanjakan, menukarkan atau perbuatan apapun. Ia hanya dikenakan tindak pidana pencucian uang saja karena tidak terlibat kejahatan asalnya, tapi tahu atau paling tidak patut menduga bahwa harta kekayaan yang dialirkan berasal dari kejahatan.

Pelaku pasif menerima hasil kejahatan. Kerap disebut abbettor yaitu pelaku yang tidak terlibat kejahatan asal, tapi hanya menerima hasil kejahatan dan yang menerima ini tahu atau sedikitnya patut menduga bahwa yang diterimanya berasal dari hasil kejahatan.

Dalam pasal 2 UU No 8 Tahun 2010 menyebut hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana—setidaknya ada 26 tindak pidana–salah satunya tindak pidana bidang kehutanan. Setelah melakukan tindak pidana kehutanan, kejahatan selanjutnya melakukan money laundering. Si pelaku kejahatan bisa aktif atau pasif melakukan kejahatan pencucian uangnya.

Fakta di lapangan, khususnya di Provinsi Riau, menunjukkan bagaimana peristiwa kejahatan kriminalitas ganda di bidang kehutanan dan lingkungan hidup berlangsung tanpa ditindak oleh penegak hukum.

Pada 4 Mei 2018, Eyes On the Forest (EoF) menemukan, 10 perusahaan perkebunan kelapa sawit menanam tanaman sawit di dalam kawasan hutan: PT Banyu Bening Utama, PT Kencana Amal Tani, PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Seko Indah, PT Eluan Mahkota (Darmex Agro, dulunya Duta Palma Grup), PT Gandaerah Hendana (Gandaerah Grup), PT Hutahaean (Hutahaean Grup), PT Peputra Supra Jaya (Peputra Materindo) dan PT Kharisma Riau Sentosa[27].

Diperkirakan luas 10 perusahaan yang teridentifikasi sekitar 73.047 hektar dan hanya memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) sekira 40.005 hektar, artinya ada penanaman kebun di luar HGU yang diberikan. Ironisnya, izin HGU tersebut ada yang berada pada kawasan hutan.

Dari 73.047 hektar kebun sawit yang teridentifikasi berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016, 38.169 hektar terdapat pada kawasan hutan, antara lain 33.437 hektar di HPK, 4.060 hektar pada HP dan 672 hektar di HPT.

Khusus PT Banyu Bening Utama, PT Palma Satu dan PT Panca Agro Lestari (Darmex Agro), karena berada dalam kawasan hutan, pada 2014 melalui Suheri Tirta (GeneraL Manajer Darmex Agro) atas perintah Surya Darmadi (Direktur Utama Darmex Agro) menyuap Annas Mamun (Gubernur Riau) melalui Gulat Manurung sebesar Rp 3 Milyar dari Rp 8 Milyar agar Annas Mamun mengeluarkan tiga perusahaan itu dari kawasan hutan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau. Annas Mamun ditangkap tangan oleh KPK di Jakarta saat sedang melakukan transaksi suap.

Temuan EoF sepuluh tahun terakhir, korporasi besar grup Wilmar, Musim Mas, Golden Agri Resources, Sinarmas menerima tandan buah segar (TBS) atau buah sawit dari kawasan hutan Hutan Lindung dan Taman Nasional.

Di areal Revitaliasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN), EoF menemukan 49 korporasi sawit yang terafiliasi dengan Wilmar, Musim Mas, Golden Asian Agri dan Sinarmas membeli TBS dari kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Eks HPH PT Siak Raya Timber dan PT Hutani Sola Lestari. Modusnya: lahan yang masih berhutan dirambah, dibakar lalu ditanami sawit. Sawitnya dijual ke 49 korporasi tersebut. Pemiliknya perambah cukong (pemodal). Cukong berwujud oknum polisi, militer, pengusaha dari Malaysia, mantan anggota DPRD Riau, koperasi dan kelompok tani.

Di TNTN sekitar 150 perambah cukong menanami sawit 44.554 ha dari 83.069 hektar luas TNTN. Di PT HSL lahan yang mereka rambah dan tanami sawit 27 ha hingga 2.500 ha. Total ada 64 cukong. Total yang dirambah 24.771 dari 32.630 ha luas PT HSL. Di PT SRT juga sama lahan dikuasai oleh cukong. Lahan yang mereka rambah dari 15 ha sampai 3.000 hektar. Total yang dirambah 31.063 ha dari 39.757 ha luas PT SRT.

Di luar itu, Jikalahari melakukan traking terhadap 55 korporasi sawit di atas lahan gambut dengan ketebalan dari 0,5 hingga lebih dari 4 meter tersebar di 11 dari 12 Kabupaten dan Kota di Propinsi Riau.

Hasil traking 55 korporasi di atas lahan gambut seluas 326.001 hektar dengan rincian: 18 korporasi berada di luar kawasan hutan (memiliki Hak Guna Usaha), sisanya 37 korporasi sebagian berada di dalam kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi terbatas, hutan produksi dapat dikonversi, hutan lindung dan hutan produksi tetap. Ke 55 korporasi itu menunjukkan gambut memang dirusak oleh korporasi baik yang memiliki izin maupun tidak berizin.

Sepanjang 2013-2017, hotspot dan kebakaran hutan dan lahan berada di atas lahan gambut ke 55 korporasi tersebut: total 31.366 hotspot (confidence di atas 70 persen, artinya terbakar): 1.073 hotspot berada di dalam areal korporasi yang memiliki Hak Guna Usaha, sisanya berada di dalam kawasan hutan. Artinya dominan hotspot berada di dalam kawasan hutan.

Data di atas menunjukkan, ke 55 korporasi sawit di atas lahan gambut yang berada di atas kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan atau yang memiliki izin maupun tidak memiliki izin sepanjang 2013-2017 ditemukan hotspot dengan confidence di atas 70 persen yang artinya kebakaran atau titik api dan beroperasi di atas kawasan hutan tanpa memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup.

Data lain menyebut—di gambut dan di mineral—hasil Evaluasi Perizinan Pansus DPRD Riau 2015, menemukan lebih dari 2 juta hektar perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin (khususnya tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan).

Dari total 513 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang memiliki izin pelepasan kawasan berjumlah 132 perusahaan atau 25,89%. Sisanya yaitu 378 perusahaan atau 74,12% tidak memiliki izin pelepasan kawasan. Jika ditinjau dari pernyataan mantan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, maka ada 2.494.484 hektar perkebunan sawit yang illegal atau mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan.[28]

Pansus DPRD Riau menemukan dari 1,8 juta kawasan hutan tak berizin yang telah ditanami kelapa sawit oleh korporasi telah merugikan keuangan negara karena tak bayar pajak senilai Rp 34 Triliun pertahun. Korporasi sawit tersebut ada yang sudah beroperasi sejak 20 tahun terakhir.

Dari 513 korporasi menjual TBS kepada grup Wilmar, Surya Dumai (First Resources), Salim, Darmex Agro, Gandaerah, Sinarmas, Golden Asian Agri, Panca Eka, Musim Mas, Jardine Matheson, Astra, juga perusahaan asal Malaysia yaitu KLK dan Batu Kawan, Sime Darby (Malaysia). Di Riau, perusahaan asal Malaysia menguasai sekitar 136.535 ha lahan yang terafiliasi dengan grup Sime Darby-Minamas, Kuala Lumpur Kepong dan Batu Kawan, Anglo Eastern dan Wilmar (Robert Kuok asal Malaysia join bersama Martua Sitorus asal Indonesia, Wilmar punya 180 pemasok di Riau).

Korporasi-korporasi yang menanam sawit di dalam kawasan hutan tanpa pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupkan tindak pidana di bidang kehutanan, yaitu UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Jo UU 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Artinya, predicate crime dibidang kehutanan berupa korporasi yang menanam sawit dalam kawasan hutan dapat dibuktikan, kini tinggal menelusuri pidana berikutnya, pencucian uang, dan menelusuri harta kekayaannya. Harta kekayaan menurut UU 10 Tahun 2010, yaitu semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pencucian uangnya tentu saja dengan mudah dapat ditelusuri oleh penegak hukum dengan bekerjasama dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

MESKI MEREKA MELAKUKAN tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, dugaan korupsi dan pencucian uang, dana mereka terus mengalir dari Maybank bank asal Malaysia.

Laporan Tuk dan Profundo pada November 2017 berjudul Maybank Penyandang Dana Sawit Terbesar mendedahkan bahwa pada periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3.9 miliar dalam bentuk pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit. Setara dengan sekitar 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Faktanya, pada tahun 2016 saja, Maybank menyediakan 60% dari semua pinjaman dan Penjaminan Emisi Efek untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih.

Pada 2016, jumlah total aset Maybank US$ 164 miliar dan menghasilkan laba sebesar US$ 1.6 miliar. 69% dari pendapatan Maybank pada tahun 2016 dihasilkan di Malaysia, 12% di Singapura, dan 11% di Indonesia. Operasi Maybank di Indonesia mendapatkan laba bersih terbesar pada tahun 2016, dengan peningkatan tahun-per-tahun sebesar 71%.

Melalui pemberian pinjaman, obligasi dan pelayanan Penjaminan Emisi Efek penerbitan saham, dan juga penanaman modal dalam bentuk obligasi dan saham, dari 20 perbankan yang berasal dari Amerika, Singapura, Inggris, Tiongkok, Norwegia dan Jepang memungkinkan Maybank menyediakan kredit ke dalam sektor minyak kelapa sawit. Selain mendanai lima perusahaan di atas, Maybank juga mendanai grup Wilmar, Harita, Salim, Sinarmas, Sime Darby, KLK, Batu Kawa, Jadine Mattheson yang punya anak-anak perusahaan di Riau.

Temuan ini menunjukkan pada kita, khusus di Riau: 513 korporasi sawit di atas masih terus melakukan praktek perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dugaan korupsi dan pencucian uang, konflik dengan masyarakat karena aliran duit tanpa henti mengalir ke mereka melalui lembaga keuangan yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Amerika, Inggris, China, Norwegia, Arab Saudi dan Jepang. Patut diduga, bank dan negara pemberi pinjaman, juga terlibat pencucian uang.

Nah, lalu, mengapa para korporasi itu melalui akademisi di atas memaksakan tanaman sawit menjadi salah satu tanaman kehutanan? Ya itu, mereka hendak menghilangkan tindak pidana kejahatan kehutanan dan pencucian uang. Kejahatan mereka otomatis segera menjadi bukan kejahatan.

Dalam hukum pidana berlaku asas legalitas: Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, maknanya tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya. Istilah lainnya,  nullum crimen sine lege stricta, tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas.

Dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.” Maksudnya, tidak ada tindak pidana tanpa ada aturan hukum yang mengaturnya.

Kelak, tanaman sawit jadi tanaman hutan bukan lagi tindak pidana, karena tidak ada lagi larangan hukum secara pidana.

Sepertinya, jalan para korporasi dan kawan-kawannya tersebut bakal berhasil, apalagi setelah Fadel Muhammad yang mewakili Legislatif dan Luhut Binsar Panjaitan mewakili Presiden Jokowi mendukung “Perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan minyak kelapa sawit mentah masih menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. Hingga 2017, Indonesia masih tercatat sebagai eksportir terbesar di dunia”, meskipun sawit itu berasal dari tindak pidana kehutanan dan pencucian uang.

Caranya? Korporasi sawit “cukup melobi dengan cara-cara tertentu” anggota DPR RI untuk memasukkan frasa, yang intinya: tanaman sawit menjadi salah satu tanaman kehutanan, sehingga dimungkinkan sawit ditanam pada kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI), ke dalam revisi UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Apalagi, tahun 2019 adalah tahun pemilu: pemilu legisltaif, selain pemilu Kepada Daerah juga akan ada Pemilihan Presiden. Para politisi butuh duit jumbo, para korporasi butuh pencucian uang untuk memperbesar ekspansi bisnis dan ini yang penting, menurut Yenti Garnasih, pakar anti pencucian uang,”menyamarkan hasil kejahatan seolah-olah tampak seperti berasal dari kegiatan yang sah dan aman untuk dinikmati dan digunakan.” ***

 

 

 

 

 

 

 

[1] Bergiat di Jikalahari, alumni Fakultas Hukum Universitas Riau, kini sedang belajar kejahatan korporasi sektor perkebunan dan kehutanan.

[2] http://senarai.or.id/pantau/kasus-gugatan-perdata-klh-terhadap-pt-jjp/yanto-sawit-masih-bisa-tumbuh-kebakaran-tidak-menimbulkan-kerusakan-lingkungan/

[3] http://senarai.or.id/karhutla/pidana-karhutla-pt-langgam-into-hibrindo/ahmad-pinayungan-dongoran-tidak-ada-istilah-habis-asap-terbitlah-sawit/

[4] http://senarai.or.id/pantau/kasus-gugatan-perbuatan-melawan-hukum-kepada-pt-nsp/yanto-kebakaran-lahan-pt-nsp-tidak-menyebabkan-kerusakan-lingkungan/

[5] http://senarai.or.id/karhutla/pidana-karhutla-pt-langgam-into-hibrindo/ahmad-pinayungan-dongoran-tidak-ada-istilah-habis-asap-terbitlah-sawit/

[6] http://senarai.or.id/karhutla/pidana-karhutla-pt-plm/semua-saksi-menganggap-api-berasal-dari-lahan-masyarakat/

[7] http://senarai.or.id/pantau/kasus-gugatan-perbuatan-melawan-hukum-kepada-pt-nsp/basuki-sumawinata-lahan-pt-nsp-terbakar-tanah-gambutnya-masih-berfungsi-baik/

[8] http://senarai.or.id/karhutla/pidana-karhutla-pt-langgam-into-hibrindo/ahmad-pinayungan-dongoran-tidak-ada-istilah-habis-asap-terbitlah-sawit/

[9] http://senarai.or.id/karhutla/kasus-karhutla-pt-adei/jpu-penelitian-anda-siapa-yang-minta-dan-bayar-siapa-yang-mendampingi/

[10] http://senarai.or.id/karhutla/kasus-karhutla-pt-adei/riset-belum-selesai-gunawan-bantah-hasil-riset-ahli-jpu/

[11] http://senarai.or.id/pantau/kasus-gugatan-perdata-klh-terhadap-pt-jjp/tak-pernah-melakukan-penelitian-nyoto-dan-wawan-bantah-hasil-penelitian-bambang-hero-dan-basuki-wasis/

[12] http://senarai.or.id/karhutla/kasus-karhutla-korporasi-pt-jjp/nyoto-dan-idung-api-berasal-dari-luar-areal-perusahaan/

[13] http://senarai.or.id/karhutla/kasus-karhutla-korporasi-pt-jjp/omo-rosdiana-ini-perdana-saya-memberi-keterangan-dipersidangan-saya-disuruh-oleh-dekan/

[14] http://senarai.or.id/karhutla/majelis-hakim-menghukum-pt-jjp-pidana-denda-rp-1-milyar-jika-tak-dibayar-aset-disita-dan-dilelang/

[15] Putusan Nomor 186/PID.SUS/2015/PT.PBR

[16] http://senarai.or.id/karhutla/kasus-karhutla-siboro-pt-jjp/terdakwa-siboro-dihukum-lebih-rendah-dari-tuntutan-pu/

[17] http://senarai.or.id/karhutla/pidana-karhutla-pt-langgam-into-hibrindo/dua-majelis-hakim-membebaskan-terdakwa-frans-katihokang/

[18] http://senarai.or.id/karhutla/pidana-karhutla-pt-plm/iing-dan-edmond-divonis-2-tahun-dan-denda-2-miliar-niscal-bebas/

[19] Putusan No 286/pid.sus/2014/PT.PBN

[20] http://senarai.or.id/karhutla/kasus-karhutla-pt-adei/pt-adei-dihukum-pidana-perbaikan-lingkungan-rp-15-1-miliar/

[21] http://dpr.go.id/berita/detail/id/20531/t/Legislator+Minta+PPATK+Bekukan+Aliran+Dana+LSM

[22] https://nasional.tempo.co/read/1083268/soal-sawit-luhut-sampaikan-surat-jokowi-ke-paus-fransiskus

[23] http://www.mongabay.co.id/2018/01/31/ketika-uni-eropa-bakal-hapus-biofuel-dari-sawit-apa-kata-mereka/

[24] Hal 5, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahannya di Indonesia karya Dr Yenti Garnasih, SH MH

[25] Prof Dr Andi Hamzah dalam Buku Saksi Kunci Karya Metta Darmasaputra halaman 250

[26] Dr Yenti Garnasih dalam buku Saksi Kunci hal 251

[27] http://eyesontheforest.or.id/reports/kebun-sawit-beroperasi-dalam-kawasan-hutan-di-provinsi-riau-tanpa-izin-maupun-pelanggaran-lainnya

[28] Laporan hasil monitoring Pansus DPRD RIAU

Penulis: Madeali

Aku hendak berbagi cerita “Aku, Buku, dan Secuil Perlawanan” sambil seruput kopi hangat, sedapnye roti canai, tentu dengan anda, kenalan atau sahabat saya. Ceritanya bisa pendek. Bisa panjang. Sahabat. menulislah, seolah-olah esok pagi kau mati! Whizzzzzzzzz, saatnya ngupi!

2 tanggapan untuk “Sawit Jadi Tanaman Hutan, Jalan Cepat Menghentikan Kriminalitas Ganda”

Tinggalkan komentar