Rasa Keadilan Masyarakat Menghukum PT Triomas FDI


TF

PADA 25 JUNI 2018, saya bersama tim pantau sidang Senarai, dua jam dari Pekanbaru, tiba di Pengadilan Negeri Siak. Tim Senarai, sejak 19 Februari 2018, memantau langsung di ruang sidang perkara pidana kebakaran hutan dan lahan terdakwa PT Triomas Forestry Development and Indonesia (TFDI), kali ini agenda sidang pemeriksaan ahli yang dihadirkan terdakwa.

Saya penasaran siapa ahli TFDI. Tim Senarai dan JPU tidak tahu siapa ahli dari terdakwa. Penasehat hukum terdakwa juga merahasiakan.

Siang itu, Ketua Majelis Hakim Lia Yuwannita didampingi hakim anggota Risca Fajarwati dan Dewi Hesti Indria membuka sidang. PT TFDI diwakili Supendi, Direktur Utama TFDI. Sidang tak sampai lima menit itu, ditunda minggu depan karena ahli berhalangan hadir. Rencananya menghadirkan 4 ahli. Tiga diantaranya akademisi Institut Pertanian Bogor.

Saya mencoba menebak, jangan-jangan ahli-ahli yang kerap digunakan korporasi pembakar hutan dan lahan? ahli-ahli yang saya maksud: Prof Yanto Santoso, Dr Ir Basuki Sumawinata, Dr Ir Gunawan Djajakirana, Nyoto Santoso, Omo Rosdiana. Saya pernah menulis peran mereka membela korporasi pembakar hutan dan lahan di Riau di “Sawit Jadi Tanaman Hutan, Jalan Cepat Menghentikan Kriminalitas Ganda”[1].

Sepekan kemudian, tiga ahli dihadirkan oleh terdakwa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu Dr Ir Basuki Sumawinata, Dr Ir Gunawan Djajakirana, Nyoto Santoso, dan Mahmud Arifin Raimadoya. Intinya mereka menerangkan, benar terjadi kebakaran di dalam areal PT TFDI, tapi tidak merusak lahan gambut karena semak dan pohon tumbuh lagi[2].

tf1

Namun, temuan Senarai, hampir enam bulan memantau langsung di ruang sidang: Hingga pemeriksaan terdakwa, sidang telah berlangsung selama lebih kurang 6 bulan dari 17 kali digelar dan 1 kali ditunda, karena ahli dari penasihat hukum berhalangan hadir.

JPU menghadirkan 11 saksi fakta dan 8 ahli. Dua saksi fakta keterangannya dibaca lewat berita acara pemeriksaan dan 1 ahli juga demikian. Yakni, saksi atas nama Frans dan Egi yang telah dipanggil oleh JPU beberapa kali tapi tak ada jawaban. Sementara, ahli atas nama Sumardi sudah berusia rentan sehingga tidak memungkinkan untuk hadir dipersidangan.

Senarai mendengarkan keterangan saksi fakta, ahli, terdakwa dan bukti-bukti yang mereka lihat di ruang sidang, menemukan fakta telah terjadi kebakaran di areal PT TFDI sejak Februari hingga Maret 2014. Areal terbakar seluas 400 ha di Divisi 1, 4 dan 5 berupa lahan gambut.[3]

Areal terbakar di blok E17, F16 dan F17 bekas tegakan kayu dan tanaman sawit tak produktif berusia tiga tahun. Selain itu areal terbakar di blok C6, C7, C7A, C7B, C14 – C17 ditemukan bekas tumpukan tegakan kayu yang sedang diland clearing. Blok C14 sampai Blok C22 dan Blok D15 sampai Blok D22 masuk dalam rencana tanam 2014.

Blok C14 – D23 memang sedang diland clearing dan pernah terbakar saat mereka sedang bekerja. Untuk blok C22, CV Kurnia Cipta Mandiri juga mengerjakan pembangunan jalan yang mengarah ke laut untuk mengangkut kayu hasil tebangan.

tf2

Menurut saksi fakta, api berasal dari lahan sagu masyarakat yang bersebelahan dengan divisi 1 dimulai dari blok C0 – C7 . Antara lahan sagu masyarakat dengan divisi 1 hanya dipisahkan oleh kanal. Namun menurut ahli Sumardi, kebakaran berasal dari blok C14 Divisi 4 dan merambat ke areal sekitarnya. Sumardi mengecek langsung di lapangan pada 15 April 2014.

Ahli Azwar Maas juga turun ke lapangan pada November 2014 dan menemukan kebakaran terjadi akibat adanya proses pengeringan lahan akibat land clearing. Ahli Basuki Sumawinata dan Gunawan Djajakirana juga menyatakan benar terjadi kebakaran di areal PT TFDI setelah mengecek ke lapangan pada 25 – 27 November 2015.

Saat kebakaran terjadi pada 4 Februari 2014, menurut Hengki, karyawan perusahaan baru memadamkan api keesokan harinya. Hengki bersama 30 warga pada hari itu juga langsung memadamkan api di areal lahan sagu masyarakat yang bersebelahan dengan lahan perusahaan. Menurut Hengki api baru bisa dipadamkan oleh masyarakat lebih dari 15 hari.

Menurut Sidir, tim pemadam kebakaran PT TFDI berjumlah 28 orang. Kata Adnan Muslim, mereka mulai padamkan api dari 21 sampai 26 Februari 2014.

Untuk memadamkan api, Supendi mengatakan sarana prasarana milik PT TFDI sudah cukup, namun menurut Agus Hartono dan Turyawan Hadi tidak lengkap dan tidak sesuai ketentuan. Agus dan Turyawan menemukan PT TFDI tidak memiliki menara pemantau api, papan peringatan dilarang membakar serta standar operasional pencegahan dan penanggulangan kebakaran sesuai aturan yang ada. Supendi mengakui menara pemantau api PT TFDI hanya ada 1 dan dibuat dari kayu terletak antara kebun Sungai Metas dan Kimas.

Saiful Amar mengatakan PT TFDI juga tidak pernah melaporkan perkembangan kegiatan di lapangan ke BLH Kabupaten Siak sejak memiliki AMDAL pada 2006. Supendi mengakui dan baru melapor paska kebakaran.

Akibat kebakaran, Hengki mengatakan banyak warga menderita ISPA. Dampak lainnya, menurut Azwar Maas setelah meneliti sampel yang diambil di lokasi kebakaran di Laboratorium UGM, lahan gambut rusak, flora dan fauna musnah dan kualitas gambut untuk menyimpan cadangan air menurun drastis. Yudi Wahyudin mengatakan, kerugian ekologis karena hilangnya jasa ekosistem berupa jasa pengaturan, produksi, habitat dan budaya mencapai Rp 1,3 triliun.

Dari fakta di atas, terlihat jelas perusahaan sengaja tidak melengkapi sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla karena memiliki motif untuk melakukan pembersihan lahan dengan cara bakar. Sebelum kebakaran terjadi, di areal terbakar sudah di land clearing oleh CV Kurnia Cipta Mandiri yang memang dikontrak untuk melakukan landclearing, sehingga menyebabkan lahan kering dan menjadi sensitif untuk terbakar. Bahkan karyawan CV Kurnia Cipta Mandiri melihat areal yang dikerjakan terbakar pada 4 Februari 2014, namun PT TFDI tidak segera memadamkan. PT TFDI hanya memberikan surat teguran pada 5 Mei 2014 agar kegiatan land clearing tidak menyebabkan kebakaran. Haswar membantahnya.

Perusahaan sama sekali tidak berusaha untuk memaksimalkan pengawasan dan patroli terhadap lahan yang di landclearing dengan tidak membuat menara api, mencukupi sarana dan prasarana serta tidak rutin melakukan patroli. Temuan tim UKP4, karyawan kebun PT TFDI merangkap tim pemadam kebakaran, sarana prasana tidak memadai serta sistem penanggulangan dan pencegahan karhutla juga dinilai tidak memadai.

PT TRIOMAS FDI satu dari sepuluh korporasi yang jadi tersangka oleh Kementerian Lingkungan Hidup saat kebakaran hutan dan lahan melanda Propinsi Riau. Pada 2013-2014 Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan sebagai tersangka pembakaran hutan dan lahan: PT Ruas Utama Jaya, PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Suntara Gaja Pati, PT Sakato Pratama Makmur, PT Sumatera Riang Lestari (Hutan Tanaman Industri), PT Triomas FDI, PT Teguh Karsa Wana Lestari, PT Bhumi Reksa Nusa Sejati, PT Jatim Jaya Perkasa dan PT Langgam Inti Hibrindo (perkebunan kelapa sawit). Selain PT Triomas FDI, PT Jatim Jaya Perkasa telah divonis di PN Rokan Hilir.

Di luar sidang, rekam jejak PT Triomas FDI sungguh buruk.

Pertama, hotspot 10 tahun terakhir (2008-2018) convidance di atas 70 persen menggunakan satelit Terra-Aqua Modis di dalam areal PT Triomas FDI total 124 hotspot, terbanyak 100 hotspot tahun 2014.

Kedua, Pansus Monev DPRD Riau 2015 menemukan PT Triomas FDI telah tidak membayar pajak hingga merugikan keuangan negara sekira Rp 26 Milyar pertahun: PPN Rp 19.005108.000 PPH Rp 7.126.915.500 dan PBB 633.483.600. Pajak itu berasal dari Penghitungan luasan PT Triomas FDI. PT Triomas FDI memiliki izin pelepasan kawasan hutan seluas 10.713 ha, dan izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.335 ha.

tf3

Setelah dilakukan overlay menggunakan citra landsat, Pansus menemukan PT Triomas FDI: tanaman di dalam pelepasan di luar HGU seluas 303 hektar, tanaman di luar pelepasan di dalam HGU seluas 812 hektar, tanaman di luar pelepasan dan diluar HGU seluas 451 hektar. Realisasi tanam seluas 6.480 hektar.

Menurut Pansus DPRD Riau, PT Triomas FDI terbukti menanam di luar area izin: pelepasan kawasan yang diberikan Kementrian Kehutanan   seluas lebih kurang 1.236 hektar. Diluar izin HGU seluas 754  hektar. Berdasarkan perhitungan luas lahan, maka PT. Triomas FDI, memiliki potensi produksi sebesar 6.480 ha x 20 ton tbs/ha/th = 129.600 ton tbs/ha/th.

Ketiga, Jikalahari pada 2015 menemukan PT Triomas FDI menebang hutan alam seluas 6.000 ha pada kawasan gambut. Penebangan dilakukan menggunakan 8 unit mesin tebang. Perusahaan mulai melakukan penebangan pada Agustus-Desember 2015. Keterangan dari asisten manajer penebangan dilakukan oleh CV Buana Alam Lestari sebagai kontraktor penebangan. Penebangan dilakukan menggunakan chainsaw, setelah ditebang kayu dikumpulkan menggunakan eskavator, lalu kayu diangkut menuju dermaga perusahaan menggunakan loko. Dua tahun kemudian, Jikalahari kembali menemukan PT Triomas FDI menebang hutan alam di kawasan gambut. Padahal 2011 Presiden SBY melakukan moratorium pelarangan menebang hutan alam dan merusak gambut, kebijakan itu diteruskan oleh Presiden Jokowi hingga kini.

Keempat, Pada 2014 pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut dan Pemerintah Provinsi Riau melakukan Audit Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Riau.

Tujuannya mengetahui tingkat kesiapan perusahaan dan kabupaten/ kota dalam melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Selain itu audit ini juga dapat mengidentiikasi kebijakan yang seharusnya dilakukan serta upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla yang dapat segera dilakukan.

Untuk Provinsi Riau, audit dilakukan dalam 4 tahap di 17 korporasi yang memiliki konsesi dan 6 pemerintah kabupaten/ kota di Provinsi Riau, salah satunya PT Triomas FDI. Hasilnya, PT Triomas FDI tergolong tidak patuh.

Secara umum temuan dari audit untuk korporasi adalah seluruh korporasi menjalankan kegiatan di atas gambut dalam yang rawan kebakaran serta ketidakmampuan perusahaan dalam menjaga konsesinya terkait erat dengan karhutla. Ketidakmampuan perusahaan ini mengakibatkan konflik terjadi di areal korporasi antara masyarakat yang berada di dalam maupun berbatasan dengan areal konsesi.

Selain itu tim audit juga menemukan adanya pelaporan dari perusahaan yang tidak dilakukan secara komprehensif sehingga deteksi dini tidak dapat dilakukan secara optimal dan perusahaan belum memenuhi kewajiban minimum dalam rangka pencegahan karhutla.

Kelima, PT Triomas FDI terlibat korupsi kehutanan dalam perkara Tengku Azmun Jaafar (eks Bupati Pelalawan), Asral Rachman (Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau), Burhanuddin Husin (Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau). Dari izin HTI di atas hutan alam tersebut, PT Triomas meraup keuntungan Rp 4.157.681.679 (RKT Era Asral Rachman dan Rp 22 Milyar (RKT era Burhanuddin Husin). Selain bergerak di bisnis sawit, PT Triomas FDI juga di bisnis kehutanan.

Kelima informasi di atas untuk memberikan gambaran pada hakim performa PT Triomas FDI yang terlibat korupsi, merusak hutan alam dan gambut, pengemplang pajak dan tidak patuh pada hukum di Indonesia.

Sebab, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 
Maksudnya, agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.[4]

Keadilan untuk siapa? Tentu keadilan untuk masyarakat Riau korban polusi asap dari pembakaran hutan dan lahan PT Triomas FDI. Keadilan untuk hutan alam yang ditebang, gambut dirusak, rumah bagi habitat flora dan fauna, dan hutan dan tanah masyarakat adat dan tempatan yang dirampas oleh PT Triomas. Intinya keadilan untuk makhluk hidup yang bergantung pada kelestarian lingkungan hidup agar bisa hidup untuk hari ini dan generasi mendatang.

Rekomendasi senarai pada Penuntut Umum dan Majelis Hakim agar menghukum PT TFDI dengan pidana denda Rp 10 miliar dan pidana tambahan melakukan perbaikan ekologis senilai Rp 1,3 triliun dan penutupan seluruh usaha dan/atau kegiatan PT TFDI, salah satu wujud rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.***

 

[1] https://madealikade.wordpress.com/2018/06/29/sawit-jadi-tanaman-hutan-jalan-cepat-menghentikan-kriminalitas-ganda/

[2] http://senarai.or.id/pantau/ahli-lahan-tidak-rusak-karena-masih-berfungsi/

[3] http://senarai.or.id/bentangan/jpu-tuntut-pt-tfdi-rp-10-m-dan-rp-13-t-termasuk-penutupan-seluruh-usaha-pt-tfdi/

[4] Pasal 5 dan penjelasannya UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Penulis: Madeali

Aku hendak berbagi cerita “Aku, Buku, dan Secuil Perlawanan” sambil seruput kopi hangat, sedapnye roti canai, tentu dengan anda, kenalan atau sahabat saya. Ceritanya bisa pendek. Bisa panjang. Sahabat. menulislah, seolah-olah esok pagi kau mati! Whizzzzzzzzz, saatnya ngupi!

Tinggalkan komentar